PERUBAHAN UUD 1994
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1994

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan
perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang
perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek
penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang
undang Perpajakan yang sekarang berlaku;

b. bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan
perekonomian sebagai tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan
kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan
sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan
seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan
aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan
usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian
yang memadai terhadap berbagai Undang-undang perpajakan yang telah
ada;

c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah
beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang
Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang
undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3312); - 2 -
Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG
UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya
menjadi berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 3

(1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
objek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Objek Pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp.8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(4) Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri
Keuangan”. - 3 -
2. Ketentuan Pasal 17 dihapus
3. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga Pasal 23 seluruhnya menjadi berbunyi
sebagai berikut :

“Pasal 23

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan
perundang-undangan lainnya”.

4. Ketentuan Pasal 27 dihapus.

Pasal II

Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada
dibidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal III

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Undang undang
Pajak Bumi dan Bangunan”.

Pasal IV

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

- 4 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
M O E R D I O N O


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 62
- 5 -
PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1994

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam
kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan
perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sejak
tahun 1986 merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas
bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, pengusaan dan/atau
perolehan manfaat atas bangunan.

Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana
perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional,
sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan
kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak. Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat
dan meningkatnya jumlah Objek Pajak serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan
amanat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, dirasakan sudah masanya untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :

a. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;

b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.

Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam
penyempurnaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 perlu diatur kembali ketentuan - 6 -
ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam Undang-undang tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut:

a. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenai
besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk setiap Wajib Pajak;

b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 3

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa
objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan.
Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari
yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan
kebudayaan nasional tersebut.
Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Contoh :
- pesantren atau sejenis dengan itu;
- madrasah;
- tanah wakaf;
- rumah sakit umum.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan objek pajak dalam ayat ini adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya
merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas
yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daeah.
Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut
melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh
negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.

Ayat (3) - 7 -
Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp
8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan Nilai Jual
Objek Pajak hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak
lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak.

Contoh :

1. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai sebagai
berikut :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi .............................. Rp 3.000.0000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak ..................... Rp 8.000.0000,00
Karena Nilai Jual Objek Pajak berada dibawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-
masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut :
a. Desa A
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 5.000.000,00

Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 5.000.000,00(+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar
pengenaan pajak ............................................ Rp13.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak .................................. Rp. 8.000.000,00(-)
- Nilai Jual Objek Pajak untuk
Penghitungan Pajak ...................................... Rp. 5.000.000,00

b. Desa B
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 5.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 3.000.000,00
- 8 -
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi ............................. Rp. 5.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan .................... Rp. 3.000.000,00(+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar
pengenaan pajak .............................................. Rp. 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak Rp. 0,00(-)
- Nilai Jual Objek Pajak untuk
Penghitungan Pajak ........................................ Rp. 8.000.000,00

Untuk Objek Pajak di Desa B, tidak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah), karena Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak telah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di Desa A.

3. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan pada
satu Desa C dengan nilai sebagai berikut :
a. Objek I
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 2.000.000,00

Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi ............................ Rp. 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan .................... Rp. 2.000.000,00(+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar
pengenaan pajak ............................................. Rp. 6.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak .......................................... Rp. 8.000.000,00

Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak, maka Objek Pajak tersebut dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

b. Objek II
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 1.000.000,00

Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi ...................... Rp. 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek pajak Bangunan ............... Rp. 1.000.000,00(+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar
pengenaan pajak ........................................ Rp. 5.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ........................................ Rp. 0,00(-)
- Nilai Jual Objek Pajak untuk
Penghitungan Pajak ................................... Rp. 5.000.000,00

Ayat (4) - 9 -

Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah
besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan
harga umum objek pajak setiap tahunnya.

Angka 2

Dengan dihapuskannya Pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti
ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566).

Angka 3

Pasal 23

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang
undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

Angka 4

Cukup Jelas

Pasal II

Cukup Jelas

Pasal III

Cukup Jelas

Pasal IV

Cukup Jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3569
Category: 0 komentar
PERUBAHAN UUD 1999
POKOK-POKOK PIKIRAN PERUBAHAN UU
36/1999
KELOMPOK I : BIDANG REGULASI

1. KEBIJAKAN UMUM.

A. PERAN PEMERINTAH.

• PENGUASAAN OLEH PEMERINTAH.
- TERBATAS PADA SUMBER DAYA ALAM
TERBATAS, YAITU GELOMBANG FREKUENSI
RADIO.
- MENGATUR PERUNTUKAN DAN HAK-HAK YANG
MELEKAT DI DALAMNYA.
- MENENTUKAN JUMLAH PENYELENGGARA.

• SEBAGAI PERUMUS KEBIJAKAN DENGAN
MEMPERHATIKAN PERAN GANDA TELEKOMUNIKASI
YAITU SUMBER DAYA ALAM TERBATAS, VITAL DAN
STRATEGIS DAN MENGUASAI HAJAT HIDUP ORANG
BANYAK SERTA KOMODITAS PERDAGANGAN.

• MELAKUKAN PEMBINAAN DALAM WUJUD
PENGENDALIAN (ALOKASI SDT).

• MEWAKILI INDONESIA DALAM FORA
INTERNASIONAL.












B. KEPEMILIKAN ASING .

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN :

• NASIONAL : KEBUTUHAN INVESTASI ASING UNTUK
MEMBIAYAI DAN MEMAJUKAN INDUSTRI DALAM
NEGERI TERMASUK TELEKOMUNIKASI.

• INTERNASIONAL : KOMITMENT INDONESIA DALAM
BERBAGAI FORUM INTERNASIONAL DAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL A.L WTO, AFTA, APEC
DLL. UNTUK MEMBUKA PASAR DALAM NEGERI.

• MENSYARATKAN PEMBUKAAN PASAR DENGAN
KEHARUSAN MENDIRIKAN BADAN USAHA DI
INDONESIA. KEUNTUNGAN BAGI PEMERINTAH
DAPAT MENARIK PAJAK DARI BADAN USAHA DI
INDONESIA TERSEBUT.

KEBIJAKAN DAN REGULASI:

MEMBUKA INVESTASI ASING UNTUK SEKTOR
TELEKOMUNIKASI DENGAN BATASAN DAN SYARAT2
YAITU MENDORONG PERTUMBUHAN INDUSTRI DALAM
NEGERI DAN KEHARUSAN MENDIRIKAN BADAN USAHA
SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA.

MEMPERSIAPKAN PELAKU INDUSTRI DALAM NEGERI
GUNA MENGHADAPI KOMPETISI ANTARA LAIN
MEMBERIKAN KEMUDAHAN DAN FASILITAS DALAM
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DI
INDONESIA.





C. PERAN SERTA MASYARAKAT.

MEMBERIKAN KESEMPATAN YANG LEBIH LUAS KEPADA
MASYARAKAT (SWASTA, BUMD, DAN KOPERASI) UNTUK
BERPARTISIPASI DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI
(PENYELENGGARAAN DAN PABRIKASI) ANTARA LAIN
MELALUI KEMUDAHAN PEMBERIAN IJIN UTAMANYA
YANG TIDAK TERKAIT DENGAN SUMBER DAYA ALAM
TERBATAS.

PEMBERIAN KEMUDAHAN KEPADA PEMDA-PEMDA YANG
AKAN MEMBANGUN DAN MENGOPERASIKAN JARINGAN
TELEKOMUNIKASINYA SENDIRI ANTARA LAIN DENGAN
PROGRAM PENGUASAAN DAN ALIH TEKNOLOGI YANG
DISEDIAKAN OLEH PEMERINTAH.



2. UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION.

DILAKUKAN MELALUI 2 (DUA) PENDEKATAN, YAITU :

a. PENDEKATAN USAHA (BISNIS);

MEMBERIKAN KESEMPATAN YANG LEBIH LUAS
KEPADA OPERATOR SELULER
(MEMPERTIMBANGKAN “EFFORTS” UNTUK
PERLUASAN JARINGAN YANG RELATIF LEBIH
MUDAH DAN MURAH DIBANDINGKAN “FIXED LINE”
DAN TERSEDIANYA “HAND-PHONE” SECARA LUAS)
UNTUK MEMPERLUAS JARINGAN KE WILAYAH USO. DARI 43,000 DESA KATEGORI USO, LEBIH DARI
50%NYA TERSEDIA SIGNAL SELULER.


PERSEPSI BAHWA LAYANAN USO TIDAK
MENGUNTUNGKAN MENJADI TIDAK BENAR DI ERA
NIRKABEL. PELAYANAN UNIVERSAL TIDAK LAGI
DILIHAT SEBAGAI KEWAJIBAN MELAINKAN DILIHAT
SEBAGAI PELUANG OLEH SEKTOR SWASTA.

PERLUASAN CAKUPAN SEMATA-MATA MERUPAKAN
DORONGAN PASAR SEKALIPUN BELUM
MENGUNTUNGKAN DARI PERSPEKTIF BISNIS.

MENDORONG KERJASAMA PENGUSAHA LOKAL
(DAERAH) ATAU KOPERASI UNIT DESA UNTUK
MEMBANGUN BTS DALAM RANGKA PERLUASAN
JANGKAUAN.

PROGRAM “MICRO FINANCE” OLEH PEMERINTAH
DIPERLUKAN DALAM RANGKA MEMBANTU
MASYARAKAT UNTUK MEMBELI “TELEPON
GENGGAM” (YANG SEKARANG HARGANYA
CENDERUNG MENURUN), MEMBELI KARTU SIM DAN
MEMBAYAR BIAYA PANGGILAN.

INOVASI TEKNOLOGI MENJADI PENTING DAN
PERLU LEBIH DITINGKATKAN ANTARA LAIN
PENGGUNAAN TEKNOLOGI AKSES NIRKABEL
BERBIAYA RENDAH (SEPERTI WI-FI). OPERATOR
SKALA KECIL YANG TIDAK MEMILIKI IJIN WI-FI
DAPAT BEROPERASI PADA JARINGAN YANG SALING
TUMPANG TINDIH DAN MEMANCARKAN SINYAL
PADA FREKUENSI YANG SAMA SECARA GRATIS
DENGAN MEMPERHATIKAN PENDEKATAN BISNIS
YANG SESUAI.





b. PENDEKATAN UTILITAS PUBLIK;

• PEMERINTAH MELALUI BADAN USAHA YANG
DIBENTUK UNTUK ITU MENYELENGGARAKAN
TELEKOMUNIKASI USO. SELURUH BIAYA
PEMBANGUNAN DAN ASPEK USAHA
PENYELENGGARAAN MENJADI TANGGUNG
JAWAB PEMERINTAH; ATAU

• MENDELEGASIKAN TANGGUNG JAWAB
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI USO
KEPADA OPERATOR PENYELENGGARA DIMANA
SELURUH BIAYA PEMBANGUNAN DAN BIAYA
OPERASI PEMELIHARAANNYA MENJADI
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH.

• PROGRAM LELANG SUBSIDI HARUS MENJAMIN
CARA YANG PALING EFFISIEN DALAM
PENGGUNAAN SUMBER DAYA PUBLIK DAN
SECARA BERSAMAAN MENINGKATKAN
PEMBIAYAAN SEKTOR SWASTA SEMAKSIMAL
MUNGKIN, KARENA HANYA PORSI JARINGAN
DAN/ATAU LAYANAN YANG TIDAK
MENGUNTUNGKAN SAJA YANG PERLU
DISUBSIDI.











3. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM TERBATAS.

a. KEBUTUHAN ADANYA MANAJEMEN FREKUENSI YANG
EFEKTIF DAN TRANSPARAN, YANG UTAMANYA
BERTUGAS:

- I) PERENCANAAN FREKUENSI, DILAKSANAKAN
SECARA BERJENJANG MENGIKUTI PERENCANAAN
FREKUENSI INTERNASIONAL (ITU DAN WRC/RR),
KEMUDIAN MENETAPKAN TABEL ALOKASI
FREKUENSI NASIONAL (TAFN) YANG SESUAI
DENGAN WRC/RR.

- (II) MENERBITKAN IJIN PENGGUNAAN FREKUENSI,
MELIPUTI MENETAPKAN “PRIME SPECTRUM”,
MENENTUKAN IJIN PERANGKAT, IJIN PITA
FREKUENSI DAN IJIN YANG DIKECUALIKAN
(LICENSE EXCEMPT).

- (III) MENETAPKAN BIAYA HAK PENGGUNAAN
FREKUENSI (BHP), BERDASARKAN PASAR, DAN
AZAS KEADILAN SERTA COST RECOVERY.


b. TUJUAN MANAJEMEN FREKUENSI:
o MEMINIMALKAN INTERFERENSI.

o MEMAKSIMALKAN EFFISIENSI.

o MENDUKUNG TERCAPAINYA TELEKOMUNIKASI DAN
INFORMASI DI SELURUH WILAYAH.






4. BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI

a. Makna Independen :
- Independen terhadap operator yang diaturnya.
- Independen terhadap tekanan politik keseharian.
- Independen terhadap perseorangan.
- Independen berarti harus tidak terpisah dari
Pemerintah. Badan regulasi merupakan bagian dari
Pemerintah.
- Independen tidak berarti harus bebas penuh.
Merupakan bagian dari Pemerintah yang menjamin
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan hukum.

b. Bagaimana independensi dapat dicapai ??:
- Keputusannya bersifat final dan tidak
membutuhkan persetujuan lembaga lain. Namun
tetap dimungkinkan adanya “judicial review”.
- Badan regulasi harus terpisah dari Departemen
yang membawahi bidang telekomunikasi. Hal ini
sesuai dengan definisi ITU.
- Keputusan berada pada anggota komisi yang
jumlahnya ganjil.
- Komisi bekerja dalam rentang waktu yang cukup
lama (misalnya 5 tahun).
- Sedapat mungkin anggarannya terpisah dari
anggaran Departemen.
c. Tugas dan tanggung jawab Badan Regulasi, antara lain
:
- Alokasi frekuensi radio untuk penggunaan
komersial.
- Pemberian ijin penyelenggaraan. - Implementasi perlindungan kompetisi.
- Penyelesaian sengketa.
- Menentapkan standard dan memonitor
pelaksanaannya.
- Pemberian sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Melaksanakan fungsi regulasi sesuai undang-
undang.
Category: 0 komentar
PERUBAHAN UUD NO 2002
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu disesuaikan dengan perkembangan
hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah, dan menambah 2 (dua) angka
baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan
yang sah.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
5. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi,
dan kantor pos.
6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban
atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih,
termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
7. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
kHtKk did b ldihiltidk (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau
di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau t idak langsung untuk
kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf n.”

3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik
atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke
Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas
nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan
mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).” 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”

5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang
nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).”

6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
10A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10A
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun
juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan
tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau
keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib
dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun
juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(t iga) tahun.
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”
7. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta menambah 2
(dua) ayat baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a), sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 13

(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(1a) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan
Kepala PPATK.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku
untuk transaksi yang dikecualikanuntuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah,
transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya
yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa
Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daf tar transaksi yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6a) Penyedia Jasa Keuangan dapat dikecualikan untuk tidak membuat dan
menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengecualian diberikan.
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala PPATK.”

8. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.”

9. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang
nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang
informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling
lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memuat rincian
mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai mengenai uang tunai berupa rupiah sejumlah
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang
nilainya setara dengan itu yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.”
10. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
17A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 17A
(1) Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang
memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara
langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan
kepada PPATK.
(2) Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan
yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak
langsung dengan cara apapun.
(3) Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai
PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (t iga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
11. Penjelasan Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
12. Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf i,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut:
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang
diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang
informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini;
e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang
kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini atau dengan
peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi
perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana
pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi
keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;
i. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan
sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.”
13. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

”Pasal 29
(1)
(2)
Set iap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan.
Anggaran Tahunan PPATK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.”

14. Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan Pasal 29B,
yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 29A
Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, tunjangan jabatan,
tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat dan pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”

“Pasal 29B
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas
usul Kepala PPATK.”

15. Ketentuan Pasal 33 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang
maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
penyidik, penuntut umum, atau hakim t idak berlaku ketentuan undang-undang
yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan
lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan
secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau
terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian
Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal
permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.”
16. Ketentuan BAB VIII diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“BAB VIII
BANTUAN TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44

(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat
dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain
melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat
dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja
sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan
prinsip resiprositas.
(3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan
kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan
perundang-undangan.
(4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari negara
lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat
mengganggu kepentingan nasional atau permintaan tersebut berkaitan dengan
penuntutan kasus polit ik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama,
ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang.

Pasal 44A

(1) Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 antara lain meliputi:
a. pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk
pelaksanaan surat rogatori;
b. pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain; c. identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang;
d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan;
e. upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil
kejahatan;
f. mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan
kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta;
g. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama timbal
balik yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan
peraturan perundang-undangan dapat meminta pejabat yang berwenang untuk
melakukan tindakan kepolisian berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan,
pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai
dengan ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara
Pidana dan Undang-Undang ini.
(3) Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak
pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
17. Di antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi Bab VIIIA
tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“BAB VIIIA
KETENTUAN LAIN
Pasal 44B

Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi
internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, PPATK dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut Undang-undang
ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 13
Oktober 2003
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPU
TRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


I. UMUM

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di
bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan
termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana
antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.
Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya
tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan
memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana
(money laundering).
Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan
dalam Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar
internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian
uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.

Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:
a. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi
setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga
meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan
untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang
memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di masyarakat
namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan
sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan
baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
b. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan
mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan
dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari
tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak
tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan
dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut
tidak dipidana.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak
pidana asal antara lain:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3
(tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian
uang dapat segera dilacak.
f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan
dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini
dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak
pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga
mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang. g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal
assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia
menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum
pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan
timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan
komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama
internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral
namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas
kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam
kejahatan yang terorganisir.
Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus
tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta
kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan bahwa “tindak pidana yang dilakukan di luar
wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia”, maka Undang-
Undang ini dalam menentukan Hasil tindak pidana menganut asas
kriminalitas ganda (double criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3 Pasal 3
Ayat (1)
Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana
tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat
dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sumber keterangan” dalam ketentuan ini adalah
Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan
dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan
kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki
ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan
perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai
berikut:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relat if besar
dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
3) aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat
sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku
pencucian uang dapat segera dilacak.
Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi
yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan
dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin
oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK menetapkan transaksi
lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi,
bentuk Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah kerja Penyedia
Jasa Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat
dilakukan baik untuk waktu yang t idak terbatas (permanen) maupun
untuk waktu tertentu (temporer).
Ayat (6) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi
mengenai transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau
diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis.
Rincian daftar transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya
sama dengan transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada
PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat
dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau
rusak.
Ayat (6a)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
Penyedia Jasa Keuangan tertentu yang untuk sementara waktu belum
dapat memenuhi ketentuan ini.
Pengecualian dapat diberikan baik dengan atau tanpa permintaan dari
Penyedia Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah tuntutan
ganti rugi.
Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan
pencemaran nama baik.

Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai anti-tipping off.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar pengguna jasa keuangan
tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak
hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pengguna jasa keuangan
dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Ketentuan anti-tipping off berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK
serta penyelidik/penyidik untuk mencegah pengguna jasa keuangan yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan harta kekayaan yang
bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 25
Ayat (3)
Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran
informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan.

Angka 12
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam
undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan
transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh
pejabat yang ditunjuk.

Angka 16
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”
adalah Undang-Undang ini, undang-undang mengenai hukum acara
pidana, undang-undang mengenai hubungan luar negeri, dan undang-
undang mengenai perjanjian internasional.
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama bantuan timbal balik antara lain mengatur tentang
prosedur komunikasi, tata cara penyampaian surat rogatori, persyaratan
yang harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan bantuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menerima atau menolak kerja sama bantuan timbal balik
berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.

Pasal 44A
Ayat (1)
Huruf a
Surat rogatori dalam ketentuan ini adalah surat dari negara lain yang
berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan
mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di bawah
sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut umum, atau hakim di
Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of
rogatory.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324
Category: 0 komentar
Air Terjun Delundung
Category: 0 komentar
Daerah Sekitar air Terjun Yang Biasanya dibuat Kemah


http://www.blogger.com/img/blank.gif
Category: 0 komentar


Category: 0 komentar
Air Terjun Delundung

Dedek ini lo yang Dinamakan air tejun delundung itu...
Category: 0 komentar